Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Siapakah yang
pantas disebut sebagai seorang ibu? Apakah, hanya sosok wanita yang
pernah melahirkan kita saja? Adakah wanita yang mengasihi seorang anak
sedemikian rupa, meskipun bukan anaknya sendiri?
Untuk merenung lebih jauh tentang sebuah cinta kasih, Saya teringat
penggalan kalimat dari sebuah syair lagu yang diciptakan oleh grup musik
ternama “DEWA” aku mencintaimu, lebih dari yang kau tahu.
Syair ini begitu luar biasa. Mencintai seseorang lebih dari yang
diketahuinya. Rasanya begitu pas dan sekali bagi seorang ibu, yang tidak
pernah menghitung-hitung ‘jasa’ demi anak-anaknya…!
Pagi itu, setelah saya selesai memberi Ceramah Dhuha di salah satu
Masjid yang cukup megah di kota Lumajang Jawa Timur, saya diantar
teman-teman panitia menuju terminal Bus. Selanjutnya, saya naik angkutan
umum Bus Antar Kota untuk kembali pulang ke kota tempat tinggal saya.
Ketika Bus yang saya naiki sampai di kota Probolinggo, bus berhenti
di terminal beberapa menit. Kemudian berangkat lagi menuju kota Malang
dengan melalui beberapa kota.
Ada hal menarik bagi saya ketika bus berhenti di terminal Probolinggo
yang hanya beberapa saat itu. Yang pertama, saya iseng-iseng menghitung
jumlah penjaja makanan yang naik ke dalam bus, ketika bus berhenti.
Saya hitung ada sebanyak dua puluh delapan orang dengan membawa berbagai
macam barang dagangan. Mulai dari minuman air mineral, makanan bungkus,
kue-kue, topi, majalah, mainan anak-anak, rokok, sampai dengan
barang-barang souvenir khas daerah.
Semua dijajakan dengan ekspresi masing-masing. Dan tentu saja yang
tidak ketinggalan adalah para anak-anak muda pengamen jalanan. Mereka
menunjukkan kebolehannya dalam ‘berolah vokal’ melantunkan lagu-lagunya.
Nah, di tengah-tengah riuh rendahnya suara berbagai macam orang
dengan aktifitasnya masing-masing itulah saya memperhatikan sebuah
ekspresi yang cukup menarik dari beberapa wajah.
Di kursi seberang di sebelah kanan saya, ada seorang ibu muda
menggendong anaknya, berumur sekitar tiga tahun. Raut wajah anak itu
gelisah. Rupanya ia merasa gerah, haus dan lapar. Bahkan, akhirnya ia
menangis meskipun tidak mengeluarkan suara keras.
Sang ibu mengerti apa yang terjadi dengan anaknya. Tetapi ia tidak
juga beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil suatu keputusan,
misalnya membelikan makanan atau minuman.
Setelah agak lama, akhirnya saya lihat ibu tersebut mengeluarkan uang
dari balik bajunya, sebesar lima ribu rupiah. Uang itu digenggamnya
erat-erat. Mungkin supaya tidak lepas atau tidak hilang di tengah
berjubelnya para penumpang dan penjaja makanan yang sangat padat.
‘Adegan’ berikutnya adalah, dengan penuh keragu-raguan ibu tersebut
memanggil penjual nasi bungkus yang sedang berdiri di dekat saya.
Seorang ibu setengah baya. Ibu itu bertanya kepada penjual nasi bungkus.
Berapa harga satu bungkus makanan yang dijajakannya itu.
Si penjual nasi bungkus menjawab dengan logat daerah yang sangat
kental. Ia mengatakan harganya Rp.2.500,- per bungkus. Saya tidak
mengetahui secara pasti apa yang terpikir dalam benak sang ibu pembeli
tersebut. Dengan penuh keraguan, bercampur rasa khawatir ia menawar nasi
tersebut dengan harga Rp.1.500,-/ bungkus.
Saya terus mengikuti dengan seksama ‘adegan’ menarik yang terjadi di
hadapan saya itu. Saya berfikir tentu sang ibu penjual tidak akan
memberikan barang dagangannya, sebab rasanya tidak mungkin nasi satu
bungkus dihargai hanya seribu lima ratus rupiah.
Benar dugaan saya. Si penjual tidak memberikannya. Ketika si penjual
nasi mau beranjak ke kursi lain, ibu penjual tersebut tanpa sengaja
menatap wajah si anak kecil yang sedang gelisah di pangkuan ibunya.
Hanya selang beberapa detik, sang ibu penjual nasi seperti terkena
‘hipnotis’ oleh wajah sedih yang haus dan lapar dari anak kecil
tersebut. Akhirnya ibu penjual pun membalikkan tubuhnya menghadap ke ibu
yang menggendong anaknya itu. Dan dengan penuh rasa iba ia relakan nasi
bungkusnya dibeli dengan harga Rp.1.500,-
Saya fikir kejadian itu sudah selesai. Dan sudah berakhir sampai
disitu saja. Ternyata perkiraan saya salah. Karena kejadian itu terus
berlanjut dengan ‘episode-episode’ yang lebih menarik lagi…
Berikutnya saya lihat ibu pembeli, memberikan lembaran uang kertas
sebesar lima ribu rupiah yang rupanya uang itu merupakan satu-satunya
uang yang ia miliki saat itu. Karena harga nasi bungkus Rp.1500,-
berarti si penjual harus mengembalikan uang sebesar Rp.3.500,- kepada si
pembeli.
Apa yang terjadi berikutnya? Ternyata ibu penjual nasi bungkus tidak
memiliki uang kembalian, sebab saat itu barang dagangannya belum laku
sama sekali. Maka si penjual nasi bungkus pun berupaya untuk menukarkan
uang lima ribuan tersebut kepada para pedagang lainnya yang ada di
sekitarnya.
Beberapa kali ia mencoba menukarkan uang tersebut kepada para
pedagang disekitarnya, tapi tidak satupun yang mau menukar uang
tersebut. Sampai-sampai penjual nasi bungkus itu menjadi kebingungan,
sebab bus beberapa saat lagi akan berangkat.
Agak lama si penjual kebingungan. Dan rupanya bus sudah mau
berangkat. Saat itu, datang seorang ibu penjual onde-onde yang sudah
agak tua. Saya lihat Ibu penjual nasi bungkus melakukan pembicaraan
singkat dengan ibu penjual onde-onde dengan logat bahasa daerah yang
sangat kental sambil menunjuk kepada anak kecil yang ada di pangkuan
ibunya.
Saya lihat ibu penjual onde-onde itu langsung mencari uang yang
terselip di bawah barang dagangannya. Dan iapun menukar uang lima ribuan
tadi dengan uangnya. Sehingga ibu penjual nasi bungkus tersebut
akhirnya bisa memberikan uang kembalian kepada ibu pembeli nasi yang
masih memangku anaknya.
Dari kejadian singkat itu, saya mendapat satu pengalaman yang menarik
dan berharga. Sebuah kejadian dari sekian ratus kejadian serupa di
tempat-tempat lain. Yang mungkin tidak sempat terperhatikan. Point apa
yang bisa kita ambil dari kejadian sederhana itu?
Bahwa perasaan cinta kasih seorang ibu, senantiasa bisa ‘menembus batas’ kesulitan yang dialaminya.
Mari kita lihat kesulitan apa yang dialami oleh masing-masing ibu tersebut.
Ibu muda (pembeli) yang uangnya tinggal lima ribu rupiah.
Duit satu lembar lima ribu rupiah itu rupanya akan dipakai untuk
keperluan lain yang sudah direncanakannya. Mungkin saja untuk transport
setelah turun dari bus.Tetapi karena anaknya lapar, maka iapun merasa
kesulitan untuk mengambil keputusan. Apabila uang itu dipakai untuk
membeli nasi seharga dua ribu lima ratus, berarti sisa uang tinggal dua
ribu lima ratus rupiah saja yang mungkin tidak cukup untuk keperluan
lainnya. Tetapi akhirnya toh, ia lakukan juga membeli nasi bungkus demi
anaknya yang sedang kelaparan. Ia `nekat’ membeli nasi bungkus dengan
menawar pada harga yang bukan pada tempatnya, demi anaknya! Meskipun
dengan perasaan agak malu, terpaksa juga ia lakukan. Hal itu
dilaksanakan demi kasih sayangnya kepada buah hatinya.
Ibu setengah baya, penjual nasi bungkus.
Ia mau dan mampu menjual barang dagangannya dibawah harga normal,
yang mungkin akan menyebabkan ia rugi. Hal itu bisa ia lakukan setelah
ia melihat sorot mata iba dari sang anak yang sedang kelaparan. Mungkin
saja, ia teringat kepada anaknya yang ada di rumah, yang suatu saat
mungkin juga akan mengalami peristiwa semacam itu
Ibu tua, penjual onde-onde
Ia mau menukar uang penjual nasi bungkus, setelah ia juga ikut
menyaksikan / merasakan kegelisahan sang anak. Meskipun dagangannya
tidak ikut laku, iapun rela repot mencarikan uang untuk menukar uang si
penjual nasi. Padahal bus sudah mau berjalan, tetapi ia tetap
berkeinginan untuk menolong orang lain.
Kalau kita perhatikan, kejadian itu cukup singkat. Tetapi ada suatu
nilai yang tersembunyi di dalamnya. Peristiwa kecil itu bagaikan drama
singkat satu babak, yang diperankan oleh tiga orang ibu dengan usia yang
berbeda.
- Ibu muda pembeli nasi bungkus
- Ibu setengah baya penjual nasi bungkus
- Ibu tua si penjual onde-onde
Semuanya mempunyai ‘kasus’ yang sama. Mereka asalnya merasa keberatan
dan kesulitan untuk mengambil jalan keluar dari sebuah persoalan.Tetapi
pada akhirnya semuanya mau berbuat sesuatu untuk menolong sang anak,
yaitu setelah mereka memahami dan ikut merasakah perasaan sang anak yang
sedang gelisah karena haus dan lapar…
Ibu pembeli rela duitnya berkurang, demi anak, Ibu penjual nasi
bungkus rela rugi, demi anak, Ibu penjual onde-onde rela repot, demi
anak.
Seorang ibu…,
dimanapun, kapanpun, dan kemanapun ia akan selalu memiliki kasih
sayang. Lebih-lebih kepada seorang anak yang membutuhkan bantuannya.
Seseorang disebut sebagai ibu, bukan sekedar karena ia pernah melahirkan
anak, tetapi karena ia memiliki kasih sayang kepada setiap insan.
Apakah kepada anak kandungnya sendiri, ataukah kepada anak orang lain.
Tiga orang ibu di dalam bus tersebut telah membuktikan kepada kita
semua, bahwa benar “…kasih ibu adalah sepanjang jalan…”
Pernahkah kita mencoba membaca keadaan ibunda kita masing-masing ?
Mungkin saja, banyak sekali peristiwa-peristiwa kecil semacam itu
yang terjadi pada ibu kita masing-masing pada zamannya dahulu. Hanya
saja kita tidak mengetahuinya atau tidak mendapatkan informasinya.
Tetapi yakinlah bahwa ibu kita bisa membesarkan diri kita sampai dengan
kita dewasa ini tentu melalui berbagai macam peristiwa ‘luar biasa’ yang
pahit dan manisnya menjadi kenangan tersendiri bagi mereka…
Pernahkah suatu malam, kita melewati pasar subuh? Betapa banyaknya
para ibu penjual sayuran atau sejenisnya, yang tertidur menunggu pembeli
sambil mendekap anaknya yang masih balita. Sang ibu rela tidak
menggunakan kain sarungnya untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan,
sebab kain itu ia selimutkan kepada buah hatinya yang tertidur lelap di
dekatnya…
Pernakah kita mengingat kembali, peristiwa-peristiwa sepele ketika kita masih sebagai anak-anak dahulu?
Ingatkah kita ketika ibu kita mengupas buah mangga, bagian yang manis
ia berikan kepada anak-anaknya, sementara bagian yang masam untuknya?
Bahkan beliau makan bagian yang masam itu sambil tertawa lucu dan
bahagia ?
Atau ingatkah kita dengan peristiwa-peristiwa senada itu, dimana sang
ibunda kita melakukamsesuatu yang lebih mengutamakan kepentingan
anaknya daripada kepentingan dirinya sendiri? Subhaanallah
“…Ya Allah, ampunilah dan maafkan dosa dan kesalahan ibu kami,
sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi kami ketika kami masih kecil”
***
Dari Sahabat