Marilah kita ikuti pengalaman nyata seorang bapak muda yang cukup
menarik untuk dikaji. Sebutlah Pak A. Sekitar 14 tahun yang lalu,
tepatnya tahun 1988, seorang muda yang baru dikarunia seorang anak, is
bekerja sambil menyelesaikan kuliahnya yang tinggal sebentar lagi
selesai. Gaji yang didapatkan dari pekerjaannya itu setiap bulannya
dapat dikatakan sangat tidak cukup untuk biaya hidupnya beserta istri
dan seorang anak kecilnya.
Suatu hari yang “naas” ia pulang dari kerjanya. Dengan penuh gembira
ia membawa pulang gaji pertamanya yang sebesar Rp. 40.000,- (Empat puluh
ribu rupiah). Dengan perasaan bangga dan penuh dengan rasa gembira
ingin ditunjukkannya hasil kerjanya itu kepada istri tercintanya.
Ingin sekali ia cepat-cepat sampai di rumah dan dengan uang itu ia
ingin belanja bersama istri dan anaknya, maklum gaji pertama adalah gaji
yang mempunyai nilai “historis” tinggi.
Setelah sampai di rumah apa yang terjadi? Ternyata dompet yang berisi
gaji satu bulan tersebut sudah tidak ada di saku celananya alias
kecopetan ketika ia pulang dari tempat kerjanya.
Bisa dibayangkan betapa sedih, kecewa dan bingungnya ia ketika itu.
Andaikata bisa, mungkin ia akan menangis sejadi-jadinya. Bahkan mungkin
ia akan protes kepada tuhan yang telah “mengijinkan” peristiwa itu
terjadi. Karena ia telah bekerja dengan keringatnya tanpa kenal lelah
dengan penghasilan yang halal demi keluarga tercinta.
Waktu satu bulan sungguh terasa sangat lama untuk menunggu gaji
tersebut. Tapi apa mau dikata gaji pertamanya sudah harus ia relakan
untuk tidak ia miliki saat itu. Bagaimana jika peristiwa itu terjadi
pada diri kita? Sanggupkah kita menerimanya dengan ikhlas?
Apa yang ia lakukan selanjutnya? Ia duduk terdiam tanpa bisa berkata
apa-apa sambil memandang istri dan anaknya, mengapa hal ini harus
terjadi pada dirinya? Dalam kondisi seperti itu dengan hati terasa pedih
ia mencoba tegar dan berpikir praktis. Biarlah uangnya hilang, toh
peristiwa sudah terjadi, mau diapa lagi….?”
Akhirnya diambilnya keputusan untuk tetap berusaha kalau-kalau dompet
tersebut masih mungkin untuk ditemukan, walaupun secara logika sangat
kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kembali uangnya tersebut. Ia
berusaha mengambil hikmah dari kejadian itu meskipun dengan perasaan
yang tidak karuan sedihnya.
Keputusan segera diambilnya, yaitu tetap berusaha untuk mencoba
mendapatkan kembali dompetnya karena di dalamnya ada beberapa surat
berharga, diantaranya stnk kendaraan bermotor, ktp, dan beberapa surat
penting lainnya.
Akhirnya untuk mendapatkan kembali surat-surat yang hilang tersebut
ia menulis surat pembaca pada sebuah surat kabar, yang intinya: biarlah
uang itu hilang, asal surat-suratnya dapat kembali, dan ia berharap jika
ada orang yang menemukan dompet itu, ia minta tolong agar di antarkan
ke alamat yang tertera dalam ktp tersebut.
Apa yang dilakukan hari-hari berikutnya? Setiap hari ia membaca surat
kabar, kalau-kalau ada berita tentang dompetnya yang hilang. Ketemukah
dompet tersebut? ternyata tidak!
Lalu dimanakah keindahannya peristiwa itu? Keindahannya ialah
terletak pada keharusannya ia membaca surat kabar tersebut. Seolah-olah
Allah menyuruh dia untuk membaca surat kabar setiap hari, dengan cara
“mengijinkan” seseorang untuk mengambil dompetnya…
Lalu apa yang terjadi hari berikutnya? Dengan membaca surat kabar
setiap hari, tanpa terasa suatu saat ia menemukan suatu tulisan pada
disiplin ilmu yang dikuasainya yang menurut pendapatnya hal itu kurang
tepat, akhirnya ia mencoba menulis untuk mengulas dan menyanggahnya.
Waktu berjalan dengan cepat. Ia telah lupa pada dompetnya yang
hilang, dan saat itu ia asyik menulis sesuai dengan kemampuannya yang
sesuai pula dengan disiplin ilmunya.
Hal ini berlangsung beberapa bulan sejak terjadinya peristiwa naas
tersebut. Selanjutnya ia sering menulis dan menanggapi tulisan orang
lain sampai berulang-ulang sehingga ia menjadi seorang penulis. Meskipun
masih pemula, pada surat kabar tersebut. Lalu?
Karena kemampuannya menulis dinilai cukup baik, oleh pimpinan
perusahaan ia dipanggil dan ditawari untuk bekerja diperusahaan tersebut
dengan gaji pertama Rp 750.000,- Tujuh belas kali lipat lebih tinggi
dibanding uangnya yang telah hilang waktu itu.
Itulah rupanya jawaban Allah atas kejadian yang menimpa seseorang,
bila sabar menerimanya. Allah “meminjam” 1 bagian, dan kini dikembalikan
menjadi tujuh belas kali lipat lebih.
Waktu berjalan terus tanpa terasa, dan pada saat saya menulis ini, ia
telah mencapai sukses gemilang dengan penghasilan yang ribuan kali
lipat dibanding uang yang hilang dulu.
Apakah ini merupakan puncak keindahan dari peristiwa yang terjadi di
hari “naas” itu, atau bahkan Allah Yang Maha kuasa akan menunjukkan pada
sesuatu yang lebih indah lagi….wallahu’alam.
Yang pasti, ukuran sukses yang paling besar adalah hati yang damai,
dan bahagia yang tercapai. Saya yakin setiap orang pernah mengalami
kejadian yang senada dengan kejadian diatas. Hanya saja mungkin skala
dan situasinya yang berbeda.
Marilah kita renungkan perjalanan hidup kita masing-masing, pasti
kita pernah mengalami suatu kejadian, dimana kejadian tersebut kita
sangka sesuatu yang menyusahkan, merugikan, dan menyedihkan.
Tetapi hal itu akan berubah menjadi sesuatu yang indah, apabila
seseorang sabar menerimanya. Akhirnya muncullah hikmah yang sangat besar
yang tiada tersangka sebelumnya.
Sungguh, Allah Maha Perencana dari segala macam kejadian dan
peristiwa. Setiap peristiwa yang sudah terjadi, bagi seorang muslim
merupakan ketetapan Allah yang sangat indah. Karena disitulah letak
ukuran dan ujian kualitas taqwa seseorang…
***
Dari Sahabat